Istilah jumper’s knee (patellar tendonitis) pertama kali digunakan pada tahun 1973 untuk menggambarkan masalah tendon di daerah lutut yang sering timbul pada yang atlet yang aktivitas utamanya melompat.
Masalah tendon di daerah lutut (tendon patella) tersebut dapat berupa peradangan (patellar tendonitis), penebalan (patellar tendinosis) atau robekan.
Meski penyebab jumper’s knee masih belum jelas, namun diduga, jumper’s knee (patellar tendonitis) terjadi akibat regangan berlebihan dan berulang (stres fungsional berlebihan) pada tendon patella yang memicu timbulnya robekan-robekan kecil dan degenerasi kolagen pada tendon.
Regangan berlebihan terjadi saat aktivitas melompat di mana tempurung lutut memproduksi kekuatan besar melalui tendon patella.
Jumper’s knee banyak dialami oleh atlet-atlet basket, bola voli, peloncat tinggi, atlet pelompat jauh dan pesebakbola. Pada kasus yang jarang, jumper’s knee dapat terjadi pada atlet angkat berat dan bersepeda, meskipun mereka jarang melakukan aktivitas melompat atau meloncat.
Beberapa hal berikut dianggap sebagai faktor risiko jumper’s knee (patellar tendonitis) yaitu:
Pria dan wanita memiliki risiko yang sama untuk mengalami cedera ini.
Gejala jumper’s knee (patellar tendonitis) yang dilaporkan berupa nyeri dibagian bawah lutut, yang kadang datang secara perlahan dan mungkin tidak terkait dengan cedera yang spesifik. Menurut tingkat kelainannya, gejala jumper’s knee diklasifikasikan menjadi 4 tahap dengan gejala yang berbeda:
Riwayat aktivitas dan temuan klinis sangat penting untuk membantu mengetahui kemungkin penyebab dan jenis kelainan yang terjadi.
Pemeriksaan laboratorium dan rontgen umumnya tidak diperlukan. ultrasonografi (USG) dan MRI cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan tendon di kedua sendi lutut, dengan gejala ataupun tanpa gejala.
Terapi yang diberikan tergantung dari tahapan atau level kelainan yang terjadi. Umumnya, di fase awal dengan kerusakan yang belum parah, terapi konservatif sangat diperlukan. Imobilisasi lutut tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kekakuan dan menyebabkan masalah lanjut pada otot dan sendi, dan memperlama proses penyembuhan dan kembali beraktivitas.
Lakukan kompres dingin setelah melakukan aktivitas untuk meredakan rasa nyeri. Jika sakit berlanjut, penggunaan obat peradangan dapat direkomendasikan, namun mengingat efek samping obat-obat anti peradangan, penggunaan sebaiknya dibatasi tidak boleh lebih dari 5 hari tanpa resep dokter.
Pada level ini, kegiatan yang menyebabkan peningkatan beban dari tendon patella (misalnya berjalan atau melompat) harus dihindari.
Dokter sebaiknya sudah dilibatkan dalam pengelolaannya, agar kondisi tidak berkembang menjadi buruk. Dokter akan melakukan pengobatan konservatif dengan program rehabilitasi yang komprehensif. Adapun tujuan program pengobatan konservatif adalah:
1. Meredakan peradangan dan rasa nyeri, dengan cara:
Kompres dingin
Pemberian obat. Dokter akan meresepkan obat-obat anti inflamasi dengan dosis yang kuat, bila obat-obat bebas tidak memberikan hasil maksimal.
Rekomendasi alat bantu untuk mengurangi beban tekanan dan gesekan pada tendon patella seperti tapping, knee support, dll
2. Melatih kekuatan dan kebugaran
Setelah rasa sakit membaik, terapi harus fokus pada lutut, pergelangan kaki, dan berbagai gerak sendi pinggul, fleksibilitas, dan penguatan.
Penguatan otot betis dan hamstring juga sangat penting. Latihan penguatan harus selalu dilakukan dalam berbagai gerakan. Jika menyebabkan sakit bertambah, kemungkinan Anda membuat cedera makin parah. Perlu menerapkan terapi kompres dingin setelah latihan untuk mencegah peradangan.
Intensitas nyeri mungkin meningkat akibat pergerakan tendon saat latihan. Ini merupakan bagian alami dari proses rehabilitasi, namun jika gejala tidak membaik dalam satu hari maka Anda perlu untuk mengurangi intensitas dan beban latihan.
Penting bahwa latihan penguatan khusus harus terus berlanjut sepanjang proses rehabilitasi dan tidak berhenti ketika olahraga pelatihan khusus dimulai.
Tanyakan kepada dokter tentang latihan-latihan dan modifikasi teknik latihan agar cedera tidak bertambah parah.
Langkah-langkah terapi yang sama dengan yang dijelaskan di atas harus dilanjutkan bersama dan hindari kegiatan yang dapat memperburuk atau mencegah pemulihan. Seringkali, atlet akan didorong untuk melanjutkan program kardiovaskular dan kekuatan-pelatihan alternatif.
Banyak atlet yang datang kembali dengan cedera jenis ini karena mereka telah sengaja menempatkan berat badan pada kaki yang baik sehingga justru terjadi pola gerakan abnormal. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan cedera lebih lanjut.
Atlet harus menyadari bahaya ini ketika kembali beraktivitas setelah cedera. Perlu setidaknya sekitar 6–12 bulan untuk kembali ke kebugaran penuh setelah mengalami cedera.
Aktivitas olahraga dapat mulai dilakukan kembali setelah tidak ada rasa nyeri sedikitpun saat lutut digerakkan, tidak ada tanda peradangan (bengkak dan merah), kekuatan otot dan sendi telah kembali. Dokter akan membantu untuk menentukan kesiapan atlet (pasien) untuk kembali ke olahraganya dan apakah aman.
Komplikasi yang paling umum adalah nyeri yang menetap selama melompat. Kondisi yang memburuk atau cedera berulang juga dapat terjadi.
Anda dapat menerima layanan dengan mengunjungi salah satu cabang kami.
Klinik Flex-Free Jakarta Utara
Ruko Italian Walk J No. 19, Dekat Pintu Masuk Gate C, Mall of Indonesia, Jl. Raya Boulevard Barat, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Lihat di Peta Kirim Pesan WhatsApp Telp: +62214514421Klinik Flex-Free Bandung
Jl. Terusan Pasir Koja No 153/67, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat
Lihat di Peta Kirim Pesan WhatsApp Telp: +622220580806Klinik Flex-Free Jakarta Selatan
The Bellezza Shopping Arcade, Lantai dasar Unit SA58-60, (Ex Food Hall, Lobby Timur), Jalan Arteri Permata Hijau No.34, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Lihat di Peta Kirim Pesan WhatsApp Telp: +622125675561