Stroke merupakan suatu penyakit di mana pembuluh darah otak yang membw oksgen dan nutrisi tersumbat atau pecah. Hal ini menimbulkan gangguan suplai oksigen dan nutrisi ke bagian otak yang diperdarahi oleh pembuluh yang terganggu sehingga sel saraf otak akan mati.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (riset skala nasional yang berbasis komunitas) pada tahun 2018, angka kejadian stroke meningkat menjadi 10.9 orang per 1000 penduduk pada tahun 2018 dibandingkan dari tahun 2013 (7 per 1000 penduduk).
Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kejadian dan faktor-faktor yang menjadi risiko stroke, serta membuat stroke sebagai penyebab kematian utama di indonesia (19,42% dari total seluruh kematian) pada tahun 2019.
Apabila seorang penderita stroke dapat melewati fase akutnya dan kembali stabil, 40% dari penyintas stroke dapat mengalami gejala sisa (sekuele).
Sekuele stroke ini dapat terjadi setelah melewati fase akut (1–7 hari pasca serangan). Sekuele stroke ini bermacam-macam jenisnya, mulai dari gejala neuropsikiatri (apati, depresi, kecemasan), gangguan gerak, gangguan bicara, sampai gejala sakit pasca-stroke yang kompleks.
Artikel ini akan membahas tentang sakit bahu pasca stroke yang dapat menimbulkan disabilitas dan kecacatan yang signifikan
Penyintas stroke dapat mengalami kondisi kekakuan otot yang disebabkan karena berkurangnya kontrol inhibisi dari otak yang disebut spastisitas. Spastisitas dapat muncul pada bulan pertama pasca stroke dan terus sampai lebih dari 3 bulan setelah serangan.
Kekakuan ini berlangsung terus menerus dan akan menimbulkan nyeri pada otot yang terlibat. Spastisitas ini, disertai kelumpuhan yang terjadi pasca-stroke akan menyebabkan kekakuan pada sendi yang terlibat.
Salah satu penyebab sakit bahu pada penyintas stroke selain spastisitas adalah subluksasi bahu (lepasnya bonggol tulang lengan atas dari wadahnya/glenoid).
Kelemahan pada otot-otot rotator cuff (4 otot penyokong sendi bahu; supraspinatus, infraspinatus, teres minor, dan subscapularis) akan menyebabkan tulang lengan atas ‘melorot’ dari wadahnya karena tidak dapat ditahan di tempatnya.
Sakit bahu yang muncul bukan serta merta karena bonggol tulangnya lepas, melainkan karena otot-otot yang melekat pada tulang lengan atas tertarik dan teregang sehingga dapat terjadi suatu proses degenerasi pada tendon (urat putih otot) sehingga muncullah tendinosis yang mencetuskan sakit bahu.
Kondisi lain adalah frozen shoulder di sisi yang mengalami kelumpuhan. Hal ini bisa terjadi bila sendi bahu jarang dilatih dan digerakkan. Pada penyintas stroke yang sama sekali tidak bisa menggerakkan bahunya, maka diperlukan bantuan
Sakit bahu pasca stroke merupakan suatu hal yang kompleks. Banyak penyebab-penyebab lain yang belum disebutkan di atas dapat berkontribusi pada sakit bahu seperti masalah pada talamus (bagian otak yang memproses nyeri).
Apabila stroke mengenai pembuluh darah yang menyuplai talamus, maka nyeri dapat muncul, tidak hanya pada bahu, tapi pada bagian-bagian tubuh lain juga.
Karakteristik sakit bahu pasca stroke bermacam-macam. Apabila nyeri disebabkan karena masalah otot, tulang dan sendi seperti yang dijelaskan sebelumnya, nyeri biasa muncul pada saat sendi digerakkan.
Pasien stroke seringkali mengalami gangguan bicara dan komunikasi, sehingga pada saat melakukan gerakan pada peyintas stroke dengan sakit bahu, harus diperhatikan wajah dari penderita, karena mungkin nyerinya tidak dapat diungkapkan tapi masih dapat diekspresikan lewat raut wajah.
Sakit bahu yang muncul karena masalah peraba dan karena gangguan pada otak yang mengatur sensasi nyeri lebih kompleks untuk ditangani. Selain karena penyebab nyerinya tidak dapat diakses langsung (talamus berada di dekat batang otak, struktur penting yang mengatur aktivitas dasar vital manusia seperti bernapas dan kesadaran), tapi karena nyerinya bersifat umum dan dapat terjadi di bagian tubuh manapun.
Penyintas stroke dapat merasa nyeri walau tanpa disentuh ataupun mengalami nyeri pada saat kulit atau bagian tubuh yang terpengaruh menerima sensasi yang tidak seharusnya menimbulkan nyeri (allodynia).
Kondisi nyeri berkepanjangan ini dapat memengaruhi psikis penyintas stroke yang dapat muncul sebagai kemarahan dan depresi, yang akan menghambat proses pemulihan lebih jauh lagi.
Sakit bahu sesudah serangan stroke harus dinilai dan dievaluasi oleh dokter.
Pada saat seorang penyintas stroke terindikasi mengalami kondisi nyeri pasca stroke, dokter akan menentukan sebab nyerinya dengan berbagai pemeriksaan. Tidak jarang pula penyebab nyeri ini merupakan gabungan dari berbagai sebab yang telah disebutkan di atas.
Pada sakit bahu pasca stroke yang berasal dari kondisi pada otot, tulang dan sendi, dokter dapat melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk memastikan kondisi-kondisi penyebab nyeri, seperti pemeriksaan ultrasonografi bahu untuk memastikan kondisi dan ketuhan otot-otot penyokong sendi bahu.
Kondisi seperti tendinopati dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi dan selanjutnya dapat dilakukan tindakan-tindakan seperti suntikan anti-nyeri pada struktur yang terdampak.
Perlu dicatat bahwa tindakan seperti injeksi ini hanyalah tindakan penyerta untuk mengurangi gejala nyeri, sementara penanganan utama pada stroke adalah latihan dengan tujuan untuk memulihkan kemampuan fungsional seseorang sampai semaksimal mungkin.
Kondisi nyeri yang disebabkan karena masalah sentral (talamus) atau pada masalah indra peraba (sensoris) seseorang dapat ditangani dengan peresepan obat-obatan.
Penggunaan obat-obatan ini harus dengan perespepan dan pengawasan dokter karena dapat menimbulkan efek samping serius bila digunakan dengan dosis yang kurang tepat.
Obat-obatan ini biasanya merupakan golongan anti-kejang dan anti-depresan trisiklik.
Penyintas stroke mengalami beberapa fase semenjak serangan pertama stroke terjadi.
Pada fase hiperakut (<24 jam pasca serangan), jaringan otak masih mengalami pembengkakan karena adanya kematian jaringan. Pada fase ini, penyintas stroke masih berada dalam kegawatdaruratan medik dan biasanya memerlukan perawatan segera.
Apabila penyintas stroke melewati 24 jam pertama, maka akan memasuki fase akut (1-7 hari), di mana kondisi otak sudah lebih stabil daripada saat fase hiperakut, tapi beberapa bagian otak masih belum berfungsi baik meskipun masih memiliki potensi untuk kembali pulih.
Pada fase akut ini yang diperlukan penyintas adalah terapi di rawat inap. Tujuan terapinya merupakan mobilisasi awal yang tidak memberatkan atau menghambat pulihnya perfusi jaringan otak.
Hal ini dapat berupa latihan menggeser posisi di tempat tidur, menggenggam dan membuka kepalan tangan, sampai menggerak-gerakkan sendi-sendi terutama pada sisi yang mengalami kelemahan.
Pada fase akut ini, latihan harus difokuskan pada sisi yang lemah, karena mengompensasi dengan sisi yang sehat terbukti akan memperburuk sisi yang lemah pada fase-fase berikutnya.
Fase ke-3 adalah subakut (1 minggu–6 bulan), di mana biasanya penyintas yang telah stabil secara neurologis (sadar penuh), hemodinamik (tidak ada gangguan peredaran darah) dan kardiorespirasi (jantung dan paru) dapat dipulangkan.
Pada fase ini, rehabilitasi medik merupakan tahap yang amat penting dalam memulihkan fungsi keseharian sampai hal-hal yang kompleks seperti bekerja dan bersekolah.
Meskipun kondisi medis telah stabil, faktor-faktor risiko seperti darah tinggi, kadar kolesterol, gula darah, asam urat harus tetap diperhatikan, dan yang terpenting adalah berhenti merokok.
Rehabilitasi medik dapat memulihkan kondisi fungsional tubuh yang mengalami penurunan saat terdampak stroke, dan pada kondisi subakut, jaringan otak masih dapat diperbaiki.
Pada fase ini, pemulihan kekuatan otot dan lingkup gerak sendi dapat mencegah terjadinya sakit bahu.
Pada mereka yang kehilangan kekuatan otot secara total, maka latihan peregangan dapat dilakukan dengan cara dibantu, baik oleh terapis, keluarga atau pengurus, bahkan oleh tangan pasien yang sehat.
Pemasangan bidai lengan (arm sling) atau bidai bahu (shoulder sling) oleh dokter juga dapat membantu mengurangi risiko munculnya subluksasi bahu.
Fase terakhir adalah fase kronis (6 bulan sampai seumur hidup penyintas). Pada fase ini, secara relatif tidak ada lagi perbaikan sistem saraf yang dapat terjadi, dan kondisi sistem saraf akan menetap, sehingga apa yang telah dicapai dan belum dicapai pada akhir bulan ke-6 pasca-stroke akan dibawa sampai seumur hidup penyintas stroke.
Pada fase ini, sakit bahu yang dapat dicegah, seharusnya tidak terjadi, dan apabila ada nyeri yang ada dan tersisa, haruslah pada tahap yang dapat ditolerir oleh penyintas dan tidak memberatkan atau menghambat aktivitas penyintas.
Tentunya hal ini dapat dicapai dengan kerja sama yang baik antara penyintas, keluarga penyintas, dan tim medis (dokter spesialis saraf, spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, serta seluruh tim yang terlibat) dalam penanganan stroke.
Anda dapat menerima layanan dengan mengunjungi salah satu cabang kami.
Klinik Flex-Free Jakarta Utara
Ruko Italian Walk J No. 19, Dekat Pintu Masuk Gate C, Mall of Indonesia, Jl. Raya Boulevard Barat, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Lihat di Peta Kirim Pesan WhatsApp Telp: +62214514421Klinik Flex-Free Bandung
Jl. Terusan Pasir Koja No 153/67, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat
Lihat di Peta Kirim Pesan WhatsApp Telp: +622220580806Klinik Flex-Free Jakarta Selatan
The Bellezza Shopping Arcade, Lantai dasar Unit SA58-60, (Ex Food Hall, Lobby Timur), Jalan Arteri Permata Hijau No.34, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Lihat di Peta Kirim Pesan WhatsApp Telp: +622125675561